Keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia adalah hal yang tabu. Sangat tidak pantas bagi kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa melanggar kodrat yang telah diberikan. Namun akhir-akhir ini, ada sebuah kelompok yang semakin ingin menunjukkan eksistensi mereka. Ya. Mereka adalah kelompok LGBT dan kawan-kawannya. Tidak sepatutnya bagi kita untuk bercampur baur dengan mereka. LGBT budaya Barat! Hentikan penyebaran virus LGBT di Indonesia!
Tunggu. Tunggu sebentar. Pantaskah saya mengatakan hal ini? virus? apakah LGBT adalah suatu virus? Mungkin saya akan setuju dengan serangkaian kalimat diatas, jika saya terperungkup dalam perspektif agama. Jikalau memang hal itu tidak diperbolehkan dan ditentang oleh mayoritas agama di Indonesia, haruskah benih dan tunas perpecahan, diskriminasi dan ketidakadilan tumbuh subur merambat di Indonesia? Siapakah yang salah, menyalahi dan bertanggungjawab?
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terletak di antara Benua Australia dan Asia serta diapit oleh dua samudra luas yaitu Hindia dan Pasifik. Pada tahun 2016, telah tercatat sebanyak 236.846.946 juta jiwa mulai dari Sabang sampai Merauke. Ketika nenek moyang kita, bangsa Melanesia dan Austronesia pertama kali datang, sejak itulah semakin banyak budaya baru masuk ke Indonesia. Hal ini terjadi antara lain melalui proses perdagangan, perkawinan, penyebaran agama serta kolonialisme hingga akhirnya Negara ini mencapai kemerdekaan atas dasar nasionalisme dan persatuan.
Indonesia adalah keragaman. Keragaman adalah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Indonesia tidak hanya memiliki berbagai potensi sumber daya alam, namun berbagai suku dan budaya juga terdapat di dalamnya. Dengan tingginya heterogenitas yang ada, masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk juga memiliki keistimewaan dengan adanya potret kebudayaan yang sangat beragam. Taukah anda? ada sejumlah kebudayaan Indonesia yang berkaitan dengan judul entri blog saya kali ini. Mari kita berbincang sekilas mengenai hal-hal yang ada dalam budaya beberapa masyarakat adat di Indonesia. Seiring waktu berjalan, setiap orang tidak semuanya tunduk terhadap konstruksi gender yang dimiliki. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor. Mereka lebih memilih untuk mengubah konstruksi gender sesuai yang mereka pilih demi mendapat kepuasaan serta dapat menerima siapa sebenarnya jati diri mereka. Masyarakat pun akhirnya memberikan toleransi terhadap hal tersebut, hingga munculah beberapa istilah seperti banci atau kedi yang terdapat di mayarakat Melayu, wandhu bagi masyarakat Jawa, bandhu bagi masyarakat Madura, calabai bagi masyarakat Bugis, kawe-kawe pada masyarakat Sulawesi dan berbagai istilah lain yang merujuk pada makna yang sama. Hal ini tidak hanya dilakukan secara perseorangan. Terdapat keterlibatan antar anggota masyarakat sehingga terciptalah pranata yang memberi ruang untuk melibatkan orang-orang semacam itu, seperti adanya bissu di masyarakat Bugis yang memiliki tugas sebagai perantara manusia dengan Tuhan, atau basir dalam masyarakat Ngaju yang menjadi perantara antara dunia ini dengan dunia nenek moyang. Beralih ke ranah hiburan, siapa yang tidak mengenal ludruk? Ludruk, merupakan pertunjukkan tradisional asal Jawa Timur dimana para seniman memerankan gender yang berlawanan dengan gender mereka. Selain itu, dikenal juga istilah sihaq atau musahaqah yang mana ditemukan di dunia pesantren budaya Jawa dan Madura. Hal ini biasanya terjadi antar santri perempuan. Hal ini bukanlah menjadi isu yang tabu untuk dibahas namun menjadi suatu pengetahuan yang membuka pikiran kita menjadi lebih luas. Hal ini ada namun bukan berarti harus ada.
Disini saya mulai berpikir, tidak sepenuhnya benar jika LGBT yang digembar-gemborkan merupakan budaya barat, namun ternyata setelah kita sibak kembali kebudayaan kita, ternyata keberagaman gender dan seksualitas telah ada sejak zaman dahulu, melebur dalam keberagaman budaya di Indonesia. Memang benar jika saat ini ada campur tangan dari kebudayaan barat, karena tidak dapat kita sangsikan dengan adanya globalisasi, semuanya seakan tanpa batas dan tak terbatas. Namun walau telah ada sejak dulu, tidak dapat dipungkiri bila hingga saat ini kelompok LGBT hanya diterima di ranah hiburan dan kecantikan. Sangatlah jarang kita menemukan sosok ataupun orang-orang yang tergolong kedalam kelompok tersebut dapat diterima dengan baik di ranah politik dan pendidikan. Bahkan di dalam kehidupan bermasyarakat, mereka lebih sering terasingkan dan mendapat perlakuan yang tidak baik. Dalam menyikapi hal ini, saya membuat survey yang dapat anda akses di link berikut ini
Berdasarkan kesimpulan dari survey yang telah dilakukan, dari 55 tanggapan yang ada, mayoritas sebanyak 65,5% telah mengetahui isu LGBT namun lebih memilih untuk tidak mengurusinya. Hal ini mungkin adalah langkah yang dapat dibilang bisa baik namun juga bisa berarti buruk. Tidak tahu menahu yang dapat berujung ketidakpedulian. Sebanyak 89,1% mayoritas hanya menganggap adanya 2 gender di Indonesia. Sebanyak 9,1% menganggap transgender bukanlah momok bagi bangsa Indonesia dan menganggap hal ini wajar sedangkan 41,8% yang lain merasa tidak nyaman dan risih serta 41,8% lainnya merasa biasa saja dan memberikan keputusan terhadap setiap individu. Sebanyak 23,6% merasa bahwa adanya kebijakan instansi melarang kelompok LGBT menimba ilmu di instansi pendidikan tersebut adalah hal yang melanggar hak asasi manusia untuk mendapat pendidikan, sementara 30,9% lainnya menyatakan lebih baik kelompok LGBT menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan 43,6% lainnya menganggap hal itu adalah wajar sebagai bentuk pencegahan LGBT semakin meluas. Sebanyak 12,7% menganggap bahwa diskriminasi trangender adalah bentuk ketidakpedulian kita terhadap perbedaan seksualitas di Indonesia namun sebanyak 34,5% menganggap hal ini wajar karena transgender menyalahi kodrat yang telah diberikan tuhan dan sebanyak 45,5% lainnya menggangap hal itu wajar namun tetap memiliki pemikiran untuk merangkul dalam masyarakat. Sebanyak 50,9% berpendapat bahwa masalah keberagaman gender dan seksualitas adalah hal yang tabu sedangkan 47,3 lainnya lebih setuju jika penanganan khusus diberikan namun harus sesuai dengan kehendak masing-masing individu. Banyak beberapa pengalaman yang diceritakan oleh setiap narasumber, membuat saya tercengang saat membacanya. Dunia memang begitu luas. Survey yang masih memiliki banyak kekurangan tersebut saya buat disisi lain menambah wawasan saya dan juga lebih mengetahui bagaimana respon secara umum mengenai isu keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia.
Dari hasil yang telah dibahas diatas, timbul pertanyaan umum, jika memang mayoritas masyarakat bangsa Indonesia masih tidak dapat secara langsung menerima adanya keberagaman gender dan seksualitas yang ada, sedangkan kelompok LGBT juga tetap terus ingin menunjukkan eksistensinya, lalu bagaimana permasalahan ini dapat teratasi? ataukah kita hanya cukup menutup mulut dan menatap dengan sebelah mata tenggelam dalam bisu dan kelu? Jujur, ketika mengetahui fakta bahwa beberapa instansi pendidikan melarang adanya kelompok LGBT untuk menimba ilmu di instansi tersebut, miris rasanya. Padahal, setiap warga negara telah diberikan haknya untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Hal ini bahkan memiliki payung hukum tersendiri yaitu pada pasal 31 UUD 1945. Sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan sehingga tercapai kecerdasan nasional, bagaimana mereka dapat mendapat semua itu jika ada larangan keras bagi mereka untuk masuk dalam ranah pendidikan. Mungkin ada satu cara bagi mereka. Bungkam identitas. Namun apakah ini sebuah solusi?
LGBT, 4 huruf yang dapat mewakili banyak huruf lainnya yang menunjukkan keragaman gender dan orientasi seksual. Sebenarnya, dari mana awal LGBT ini terjadi, apakah karena adanya gay genes yang digadang-gadang namun hingga saat ini belum ditemukan bukti ilmiahnya? ataukah ini dikarenakan faktor lingkungan? Lalu jika memang faktor lingkungan, siapakah yang mempunyai campur tangan dengan hal ini? bukankah kita semua sebagai masyarakat? Banyak sekali fakta yang menunjukan bahwa sejatinya LGBT berawal dari adanya sosialisasi menyimpang yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Dimana faktor-faktor tersebut bermacam adanya. Hal ini mengakibatkan adanya guncangan secara psikologis dalam diri seorang individu sehingga mereka meragukan konstruksi dan identitas gender yang telah ada dalam diri mereka. Adanya labelling dari masyarakat juga dapat mengakibatkan timbulnya goncangan kepribadian dalam diri seseorang. Misalnya saja, seorang wanita yang menyukai penampilan tomboy, dengan rambut pendek dan celana. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menyerupai seorang pria, namun karena masyarakat terus menerus memanggilnya dengan sebutan ganteng atau sejenisnya maka perlahan dapat merubah perilaku wanita tersebut menjadi lebih maskulin dan mulai terjadi pergolakan dalam dirinya, titik manakah yang membuatnya nyaman menunjukkan siapa dirinya. Contohnya dalam konteks lesbian, beberapa faktor lingkungan dapat mengakibatkan hal ini terjadi. Misalnya, karena adanya trauma berat akibat kekerasan yang dilakukan oleh pria terhadap wanita. Hal ini memicu adanya goncangan dalam jiwa sang wanita, dimana saat ia akhirnya menemukan seseorang yang dapat membuatnya nyaman, dan kebetulan seseorang tersebut adalah sesama wanita, maka tidak kecil kemungkinan hubungan lesbian dapat terjadi. Ada banyak kemungkinan dalam hidup ini dan itulah yang membuat hidup menjadi hidup. Contoh lain, anak laki-laki jika dalam masa kecilnya kurang peran seorang ayah dan terlalu banyak bergaul dengan wanita, sehingga entah itu mempengaruhi perilaku atau cara berpakaian dan lain-lain. Masyarakat yang terkadang asal menyebut banci terkadang menimbulkan trauma tersendiri yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadi beberapa benturan dalam diri yang membuat dia seakan berpikir sebenarnya dia bukan ditakdirkan menjadi seorang pria namun seorang wanita. Selain itu, masih banyak contoh lainnya yang dapat ditemukan di kehidupan nyata.
Dengan banyaknya kemungkinan faktor penyebab keragaman gender dan seksualitas di Indonesia ini, maka sudah seharusnya kita tidak menghakimi atau menjatuhkan kesimpulan dengan gampang tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai masyarakat yang sudah seharusnya bahu membahu menuju kemajuan bersama, sudah seharusnya terdapat bimbingan bagi mereka sehingga dapat ditemukan secara tidak langsung jalan keluar untuk kembali normal dan berjalan sesuai kodratnya. Apabila kita menggunjing, mengucilkan, hal ini tidak membantu apapun bagi mereka. Bahkan, mereka dapat kehilangan keberanian untuk mencoba keluar dan untuk membuka diri untuk mencoba kembali menjadi siapa dirinyayang sebenarnya. Hal ini mengakibatkan mereka akhirnya lebih nyaman berjuang bersama orang-orang yang mereka anggap sejenis, sehingga pada saat adanya kesempatan untuk menunjukkan eksistensi, hal ini acapkali menimbulkan suatu problema yang lebih besar dimana kelompok LGBT seakan dikatakan menyebarkan virus LGBT. Padahal sebenarnya, jika direngkuh dan dirangkul dalam masyarakat, mereka akan menjadi lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Karena saya yakin mereka juga paham dengan lingkungan dan iklim masyarakat Indonesia, dan sebagai warga negara Indonesia, siapapun itu setidaknya harus tau mengenai rambu-rambu norma yang ada.
Keragaman gender dan seksualitas di Indonesia memang hal yang tabu tapi perlu diselesaikan, bukan diratap hingga menjadi konflik, namun harus ditatap dan disikapi dengan bijak. Tidak seharusnya mereka juga kehilangan hak-haknya untuk mencapai kemajuan dalam mengembangkan potensi mereka. Kepercayaan dan keteguhan hati setiap individu adalah hak dan tanggung jawab pemilik hati tersebut, terserah sang pemilik akan membawa dirinya ke jalan yang mana. Dengan tetap memperhatikan rambu-rambu norma, masyarakat merangkul dan setiap individu bertahan akan kepercayaannya, saya rasa tidak ada yang salah. Karena janganlah sampai perpecahan muncul dikemudian hari di bumi pertiwi ini. Perpecahan yang diakibatkan keragaman itu sendiri.
Ini bukan hanya tentang moralitas, namun juga kemanusiaan. Kita semua masih menginjakkan kaki di bumi, hidup dalam sebuah planet biru diantara bintang dan debu angkasa yang luas tak terbatas, kita hanyalah setitik abu. Mari mengisi hidup dengan kebaikan dan sebarlah kebahagiaan karena setiap jiwa akan bertemu dengan kematian.
Disini saya mulai berpikir, tidak sepenuhnya benar jika LGBT yang digembar-gemborkan merupakan budaya barat, namun ternyata setelah kita sibak kembali kebudayaan kita, ternyata keberagaman gender dan seksualitas telah ada sejak zaman dahulu, melebur dalam keberagaman budaya di Indonesia. Memang benar jika saat ini ada campur tangan dari kebudayaan barat, karena tidak dapat kita sangsikan dengan adanya globalisasi, semuanya seakan tanpa batas dan tak terbatas. Namun walau telah ada sejak dulu, tidak dapat dipungkiri bila hingga saat ini kelompok LGBT hanya diterima di ranah hiburan dan kecantikan. Sangatlah jarang kita menemukan sosok ataupun orang-orang yang tergolong kedalam kelompok tersebut dapat diterima dengan baik di ranah politik dan pendidikan. Bahkan di dalam kehidupan bermasyarakat, mereka lebih sering terasingkan dan mendapat perlakuan yang tidak baik. Dalam menyikapi hal ini, saya membuat survey yang dapat anda akses di link berikut ini
Berdasarkan kesimpulan dari survey yang telah dilakukan, dari 55 tanggapan yang ada, mayoritas sebanyak 65,5% telah mengetahui isu LGBT namun lebih memilih untuk tidak mengurusinya. Hal ini mungkin adalah langkah yang dapat dibilang bisa baik namun juga bisa berarti buruk. Tidak tahu menahu yang dapat berujung ketidakpedulian. Sebanyak 89,1% mayoritas hanya menganggap adanya 2 gender di Indonesia. Sebanyak 9,1% menganggap transgender bukanlah momok bagi bangsa Indonesia dan menganggap hal ini wajar sedangkan 41,8% yang lain merasa tidak nyaman dan risih serta 41,8% lainnya merasa biasa saja dan memberikan keputusan terhadap setiap individu. Sebanyak 23,6% merasa bahwa adanya kebijakan instansi melarang kelompok LGBT menimba ilmu di instansi pendidikan tersebut adalah hal yang melanggar hak asasi manusia untuk mendapat pendidikan, sementara 30,9% lainnya menyatakan lebih baik kelompok LGBT menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan 43,6% lainnya menganggap hal itu adalah wajar sebagai bentuk pencegahan LGBT semakin meluas. Sebanyak 12,7% menganggap bahwa diskriminasi trangender adalah bentuk ketidakpedulian kita terhadap perbedaan seksualitas di Indonesia namun sebanyak 34,5% menganggap hal ini wajar karena transgender menyalahi kodrat yang telah diberikan tuhan dan sebanyak 45,5% lainnya menggangap hal itu wajar namun tetap memiliki pemikiran untuk merangkul dalam masyarakat. Sebanyak 50,9% berpendapat bahwa masalah keberagaman gender dan seksualitas adalah hal yang tabu sedangkan 47,3 lainnya lebih setuju jika penanganan khusus diberikan namun harus sesuai dengan kehendak masing-masing individu. Banyak beberapa pengalaman yang diceritakan oleh setiap narasumber, membuat saya tercengang saat membacanya. Dunia memang begitu luas. Survey yang masih memiliki banyak kekurangan tersebut saya buat disisi lain menambah wawasan saya dan juga lebih mengetahui bagaimana respon secara umum mengenai isu keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia.
Dari hasil yang telah dibahas diatas, timbul pertanyaan umum, jika memang mayoritas masyarakat bangsa Indonesia masih tidak dapat secara langsung menerima adanya keberagaman gender dan seksualitas yang ada, sedangkan kelompok LGBT juga tetap terus ingin menunjukkan eksistensinya, lalu bagaimana permasalahan ini dapat teratasi? ataukah kita hanya cukup menutup mulut dan menatap dengan sebelah mata tenggelam dalam bisu dan kelu? Jujur, ketika mengetahui fakta bahwa beberapa instansi pendidikan melarang adanya kelompok LGBT untuk menimba ilmu di instansi tersebut, miris rasanya. Padahal, setiap warga negara telah diberikan haknya untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan. Hal ini bahkan memiliki payung hukum tersendiri yaitu pada pasal 31 UUD 1945. Sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan sehingga tercapai kecerdasan nasional, bagaimana mereka dapat mendapat semua itu jika ada larangan keras bagi mereka untuk masuk dalam ranah pendidikan. Mungkin ada satu cara bagi mereka. Bungkam identitas. Namun apakah ini sebuah solusi?
LGBT, 4 huruf yang dapat mewakili banyak huruf lainnya yang menunjukkan keragaman gender dan orientasi seksual. Sebenarnya, dari mana awal LGBT ini terjadi, apakah karena adanya gay genes yang digadang-gadang namun hingga saat ini belum ditemukan bukti ilmiahnya? ataukah ini dikarenakan faktor lingkungan? Lalu jika memang faktor lingkungan, siapakah yang mempunyai campur tangan dengan hal ini? bukankah kita semua sebagai masyarakat? Banyak sekali fakta yang menunjukan bahwa sejatinya LGBT berawal dari adanya sosialisasi menyimpang yang diakibatkan oleh beberapa faktor. Dimana faktor-faktor tersebut bermacam adanya. Hal ini mengakibatkan adanya guncangan secara psikologis dalam diri seorang individu sehingga mereka meragukan konstruksi dan identitas gender yang telah ada dalam diri mereka. Adanya labelling dari masyarakat juga dapat mengakibatkan timbulnya goncangan kepribadian dalam diri seseorang. Misalnya saja, seorang wanita yang menyukai penampilan tomboy, dengan rambut pendek dan celana. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menyerupai seorang pria, namun karena masyarakat terus menerus memanggilnya dengan sebutan ganteng atau sejenisnya maka perlahan dapat merubah perilaku wanita tersebut menjadi lebih maskulin dan mulai terjadi pergolakan dalam dirinya, titik manakah yang membuatnya nyaman menunjukkan siapa dirinya. Contohnya dalam konteks lesbian, beberapa faktor lingkungan dapat mengakibatkan hal ini terjadi. Misalnya, karena adanya trauma berat akibat kekerasan yang dilakukan oleh pria terhadap wanita. Hal ini memicu adanya goncangan dalam jiwa sang wanita, dimana saat ia akhirnya menemukan seseorang yang dapat membuatnya nyaman, dan kebetulan seseorang tersebut adalah sesama wanita, maka tidak kecil kemungkinan hubungan lesbian dapat terjadi. Ada banyak kemungkinan dalam hidup ini dan itulah yang membuat hidup menjadi hidup. Contoh lain, anak laki-laki jika dalam masa kecilnya kurang peran seorang ayah dan terlalu banyak bergaul dengan wanita, sehingga entah itu mempengaruhi perilaku atau cara berpakaian dan lain-lain. Masyarakat yang terkadang asal menyebut banci terkadang menimbulkan trauma tersendiri yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadi beberapa benturan dalam diri yang membuat dia seakan berpikir sebenarnya dia bukan ditakdirkan menjadi seorang pria namun seorang wanita. Selain itu, masih banyak contoh lainnya yang dapat ditemukan di kehidupan nyata.
Dengan banyaknya kemungkinan faktor penyebab keragaman gender dan seksualitas di Indonesia ini, maka sudah seharusnya kita tidak menghakimi atau menjatuhkan kesimpulan dengan gampang tanpa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai masyarakat yang sudah seharusnya bahu membahu menuju kemajuan bersama, sudah seharusnya terdapat bimbingan bagi mereka sehingga dapat ditemukan secara tidak langsung jalan keluar untuk kembali normal dan berjalan sesuai kodratnya. Apabila kita menggunjing, mengucilkan, hal ini tidak membantu apapun bagi mereka. Bahkan, mereka dapat kehilangan keberanian untuk mencoba keluar dan untuk membuka diri untuk mencoba kembali menjadi siapa dirinyayang sebenarnya. Hal ini mengakibatkan mereka akhirnya lebih nyaman berjuang bersama orang-orang yang mereka anggap sejenis, sehingga pada saat adanya kesempatan untuk menunjukkan eksistensi, hal ini acapkali menimbulkan suatu problema yang lebih besar dimana kelompok LGBT seakan dikatakan menyebarkan virus LGBT. Padahal sebenarnya, jika direngkuh dan dirangkul dalam masyarakat, mereka akan menjadi lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada. Karena saya yakin mereka juga paham dengan lingkungan dan iklim masyarakat Indonesia, dan sebagai warga negara Indonesia, siapapun itu setidaknya harus tau mengenai rambu-rambu norma yang ada.
Keragaman gender dan seksualitas di Indonesia memang hal yang tabu tapi perlu diselesaikan, bukan diratap hingga menjadi konflik, namun harus ditatap dan disikapi dengan bijak. Tidak seharusnya mereka juga kehilangan hak-haknya untuk mencapai kemajuan dalam mengembangkan potensi mereka. Kepercayaan dan keteguhan hati setiap individu adalah hak dan tanggung jawab pemilik hati tersebut, terserah sang pemilik akan membawa dirinya ke jalan yang mana. Dengan tetap memperhatikan rambu-rambu norma, masyarakat merangkul dan setiap individu bertahan akan kepercayaannya, saya rasa tidak ada yang salah. Karena janganlah sampai perpecahan muncul dikemudian hari di bumi pertiwi ini. Perpecahan yang diakibatkan keragaman itu sendiri.
Ini bukan hanya tentang moralitas, namun juga kemanusiaan. Kita semua masih menginjakkan kaki di bumi, hidup dalam sebuah planet biru diantara bintang dan debu angkasa yang luas tak terbatas, kita hanyalah setitik abu. Mari mengisi hidup dengan kebaikan dan sebarlah kebahagiaan karena setiap jiwa akan bertemu dengan kematian.
0 comments:
Post a Comment